Minggu, 18 November 2007

HAK-HAK KEPERDATAAN DALAM KONTRAK KERJA BAGI BURUH

Oleh: T Denny Septiviant, SH – Direktur Klinik Hukum (Legal Clinic for Labour Justice)

Status kontrak bagi buruh memunculkan dilema. Karena di satu sisi mereka membutuhkan kerja, namun di sisi lain menimbulkan ketidaknyamanan karena hak-hak buruh bisa tidak terlindungi mengingat hubungan perburuhan yang tidak imbang dengan majikan.
Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara umum mengatur aturan-aturan kerja yang harus tercantum dalam kontrak kerja. Namun demikian, kelemahan UU tersebut, tidak mengatur kontrak individual buruh dengan majikan. Sementara yang diatur adalah tata cara pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan Serikat Buruh. Dalam prakteknya hubungan kerja mengarah ke individual, dimana buruh in-person sebagai subjek hukum perdata dihadapkan vis a vis dengan majikan. Sehingga seringkali buruh harus menyerah ketika disodori kontrak kerja yang sebenarnya lebih mirip perjanjian baku.
Hukum perdata kita sebenarnya secara imbang melindungi buruh dan majikan. Sebenarnya hukum perdata inilah yang seharusnya digunakan sepenuhnya dalam kontrak kerja ketika buruh (yang tidak tergabung dalam SB) mengikatkan diri dengan majikan. Oleh sebab itu, sangat perlu paham terhadap pokok-pokok perjanjian perburuhan ini agar mengetahui hak-nya yang dilindungi oleh hukum.
***

Perjanjian perburuhan adalah suatu perjanjian dimana di satu pihak, buruh berjanji untuk di bawah perintah orang lain (si majikan), melakukan suatu macam pekerjaan selama suatu waktu dengan menerima upah dari pihak majikan.
Ciri-ciri perjanjian perburuhan adalah:
ada pekerjaan yang dilakukan oleh buruh;
ada upah yang diberikan oleh pihak majikan;
suatu pihak dibawah perintah.
Perjanjian perburuhan tersebut diatur dalam pasal 1601 sampai dengan pasal 1603 BW (KUHPerdata) (lama), akan tetapi sekarang diatur dalam pasal 1601 (baru) sampai dengan pasal 1603z BW (KUHPerdata).
Dalam lapangan hukum perdata perjanjian perburuhan masuk dalam perjanjian konsensuil, yaitu perjanjian tersebut menjadi sah dan mengikat setelah terjadinya kesepakatan antara buruh dan majikan mengenai pekerjaan dan upah (gaji). Sementara Kontrak kerja adalah persetujuan untuk melakukan satu atau lebih pekerjaan. Cara membuat persetujuan kerja adalah “bebas”, boleh secara lisan atau tertulis. Apabila kontrak kerja dibuat secara tertulis, segala biaya pembuatan akta dan perongkosan lain, ditanggung oleh pihak majikan (pasal 1601 d KUHPerdata).
Suatu aturan kerja yang berisi ketentuan-ketentuan hubungan kerja, tidak dengan sendirinya mengikat kepada si pekerja/karyawan. Ketentuan-ketentuan hubungan kerja baru mengikat kepada si pekerja/karyawan setelah ia membuat “pernyataan tertulis” yang menyatakan persetujuannya akan isi aturan hubungan kerja yang diperbuat majikan; dengan prosedur:
selembar aturan yang lengkap harus diberikan kepada pekerja secara Cuma-Cuma oleh pihak majikan;
selembar aturan yang lengkap, dan dibubuhi tandatangan majikan harus ditempel pada bagian umum/diserahkan kepada Disnaker untuk dapat dibaca oleh setiap orang;
selembar aturan yang lengkap tadi, dengan lengkap harus tergantung pada tempat yang mudah dilihat pekerja di lingkungan kerja.
Kalau diantara masa kerja, majikan mengeluarkan lagi aturan baru, baik yang bersifat baru ataupun perubahan, aturan baru atau perubahan baru tersebut baru bisa mengikat kepada pekerja; jika dalam ‘tempo singkat’ sebelum pembaharuan dan perubahan ditetapkan, majikan telah memberikan kepada pekerja selembar salinan ‘rencana’ aturan baru atau rencana perubahan dimaksud, guna memberi kesempatan kepada pekerja mempelajari rencana dan perubahan baru. Pemberian salinan harus diberikan gratis, serta kurun waktu yang diberikan haruslah mencukupi untuk mempelajari.
Pekerja dapat menyetujui atau menolak pembaharuan atau perubahan aturan kerja yang dibuat oleh majikan. Apabila pembaharuan atau perubahan tersebut tidak dapat disetujui oleh Pekerja, maka dalam tempo ‘empat minggu’ setelah penetapan aturan baru atau perubahan tersebut diketahui, pekerja dapat menggugat kepada hakim agar persetujuan dan hubungan kerja dipecahkan. Dalam hal ini hakim akan memberi putusan, setelah lebih dulu mendengar keterangan keduabelah pihak. Sementara menunggu keputusan hakim; dan bila gugatan ditolak berarti hubungan kerja berjalan terus dengan menggunakan aturan baru atau aturan yang diperbaharui. Bila gugatan dikabulkan, hakim harus menentukan saat putusan hubungan kerja, serta besarnya uang ganti rugi yang harus dibayar majikan kepada pekerja (pasal 1601k KUHPerdata).
Undang-undang ‘melarang’ pekerja membuat keterangan yang berisi pernyataan persetujuan segala aturan yang akan ditetapkan majikan pada masa yang akan datang. Persetujuan pekerja yang demikian ‘batal dengan sendirinya’. Pernyataan si pekerja tadi dianggap tidak pernah ada. Pelarangan ini perlu guna melindungi kepentingan pekerja dari penindasan majikan.
Tentang perhitungan upah, dalam pasal 1601 KUHPerdata semula diatur. Namun sekarang ketentuan ini tidak berlaku lagi, dan telah diganti dengan UU NO. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (lihat Bagian Kedua pasal 88 – 98). Bila dalam perjanjian kerja ataupun dalam aturan kerja tidak ditentukan besarnya jumlah upah tertentu oleh kedua belah pihak, buruh/karyawan berhak atas ‘sebesar yang biasa dibayar’ pada tempat lingkungan kerja untuk pekerjaan semacam itu. Seandainya jenis pekerjaan tadi tidak biasa dijumpai di sekitar lingkungan tempat si buruh bekerja; maka besarnya upah didasarkan dengan jalan memperhatikan segala sesuatu menurut ‘kepatutan’.
Pada pasal 1601s dan 1601t KUHPerdata, undang-undang melarang majikan mengikat pekerja untuk mempergunakan hasil upahnya hanya boleh dibelanjakan pada tempat tertentu saja. Ikatan seperti itu dianggap batal dengan sendirinya. Pelanggaran atas ikatan ini, mengakibatkan memberi hak kepada buruh meminta kembali apa-apa yang telah dibelanjakannya dari tempat tersebut.
Mengenai denda, yang boleh dikenakan majikan kepada buruh, hanya denda yang telah ‘tegas’ disebut dalam persetujuan kerja ataupun yang telah dicantumkan dalam aturan kerja. Di luar ketentuan yang terdapat dalam persetujuan dan aturan kerja, tidak ada suatu denda-pun yang dapat ditagih majikan dari setiap pekerja. Kalau begitu, ‘hanya pelanggaran-penggaran’ yang disebut persetujuan dan aturan sejalan yang dapat mengakibatkan denda.
Penggunaan/pemanfaatan denda tersebut harus disebut dengan tegas. Tidak boleh denda tersebut dipergunakan untuk kepentingan pribadi si majikan, baik hal itu langsung ataupun tidak. Setiap denda yang dapat dikenakan pada pekerja , harus denda yang telah jelas ‘ditentukan jumlahnya’ dengan bilangan mata uang. Banyaknya denda yang boleh ditetapkan kepada seorang pekerja dalam seminggu, tidak boleh melebihi jumlah upah satu hari. Seandainya-pun terhadap seorang pekerja dikenakan beberapa denda, juga besarnya denda yang demikian, tidak boleh melebihi upah satu hari. Setiap syarat yang bertentangan dengan cara-cara perhitungan denda di atas, dengan sendirinya dianggap batal demi hukum.
***diatas telah diuraikan sedikit masalah hak dan perlindungan keperdataan bagi buruh yang mengikatkan kerja dengan Perusahaan. Untuk buruh mungkin cara di atas tidak praktis, karena mau-tidak mau harus belajar sedikit mengenai hak-hak hukumnya. Sehingga cara terbaik yang saat ini tersedia adalah buruh menggabungkan diri dengan serikat Buruh, sehingga secara kolektif hak-haknya dapat terlindungi

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar