Sabtu, 15 Maret 2008

PERDEBATAN SINGKAT RUU JAMSOSTEK


Oleh : Khotib oe Sunhaji*

Jaminan sosial tenaga kerja (workers’ social security) adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan kepada pekerja dan keluarganya terhadap berbagai resiko pasar tenaga kerja (labor market risks), misalnya: resiko kehilangan pekerjaan, penurunan upah, kecelakaan kerja, sakit, cacat, lanjut usia, meninggal dunia, dan lain-lain. Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) merupakan bagian dari sistem perlindungan sosial (social protection) yang memberikan perlindungan tidak hanya kepada mereka yang bekerja saja, tetapi juga kepada keluarga pekerja. Di negaranegara maju jaminan sosial tenaga kerja merupakan bagian terpenting dari sistem perlindungan sosial karena hampir seluruh keluarga dalam masyarakat akan tercakup oleh program jaminan sosial.
Di indonesia sendiri jaminan sosial di atur dalam UU no 03/1992, dalam UU ini setidaknya mengatur 4 program jaminan sosial bagi buruh, yang antara lain adalah jaminan kematian (JK), jaminan kesehatan (JK), jaminan hari tua (JHT) dan jaminan kecelakaan kerja (JKK). Akan tetapi dengan dalih bahwa UU ini tidak cukup ramah terhadap investasi dan juga tidak cukup efektif dalam melindungi hak-hak buruh, terhitung sejak awal tahun 2008 pemerintah berupaya untuk merevisi UU ini dengan mengusung draff Rancangan undang-undang jaminan sosial pekerja (RUU jamsospek).
Dalam upaya untuk melihat sejauh mana rencana pemerintah ini tidak menjadi persoalan baru, tulisan ini berupaya untuk melihat korelasi sebab akibat dari munculnya RUU jamsospek versi Komisi IX DPR RI Draft II tanggal 15 Januari 2008, mengingat sampai saat ini ada 2 versi RUU yang berkembang, RUU yang lain adalah rumusan dan usulan dari jamsostek. Menelaah persoalan-persoalan jaminan sosial bagi buruh, sampai saat ini ada beberapa persoalan riil yang ada, diantaranya :
Pertama : Saat ini jumlah buruh di Indonesia kurang lebih 100 juta orang, sementara buruh yang diikutsertakan menjadi anggota jamsostek hanya berjumlah 28,5 juta, jumlah inipun pada dasarnya belum angka final, mengingat banyaknya kecurangan-kecurangan dari pihak pengusaha yang tidak memberikan program jamsostek secara penuh bagi para buruhnya, walaupun mereka sudah didaftarkan menjadi anggota.
Kedua : lemahnya penegakan hukum, masalah pertama muncul bukan hanya disebabkan oleh longgarnya perangkat aturan yang ada, tetapi juga disebabkan oleh lemahnya perangkat penegakan hukum, baik dalam pengawasan, penyidikan maupun menindak perusahaan-perusahaan yang terbukti tidak menjalankan kewajibanya. Ketiga : rendahnya pemahaman buruh akan hak atas jaminan sosial dan lemahnya posisi tawar buruh terhadap pengusaha, terlebih untuk buruh kontrak dan outsourcing hal ini berdampak pada kecilnya peluang buruh untuk meminta hak-hak mereka.
Keempat : kecilnya prosentase iuran jamsostek, hal di indonesia saat ini hak jaminan sosial buruh hanya sebesar 13% dari prosentase upah yang diterima. Bandingkan dengan negara-negara lain di asia tenggara saja misalnya, saat ini sudah mencapai 20-25% dari prosentase upah. Kelima : pengelolaan dana jamostek tidak transparan, hal ini bisa dilihat dari tidak adanya pelaporan secara terbuka terhadap buruh sebagai orang yang memiliki hak utama terhadap dana yang ada di jamsostek, ketidakjelasan ini lebih dikarenakan ketidakjelasan mekanisme kontrol terhadap pengelolaan dana jaminan sosial oleh buruh selaku pemilik dana. Ketidak transparanan ini tidak hanya pada berapa jumlah iuran yang ada di PT jamsostek sebagai pelaksana, akan tetapi juga hasil-hasil investasi PT jamsostek untuk usaha-usaha produktif. Hal ini berdampak pada hilangnya hak buruh atas laba hasil investasi yang dilakukan oleh PT jamsostek, bahkan yang lebih tragis lagi dana-dana yang seharusnya dikembalikan pada buruh, justru di korupsi baik oleh pejabat jamsostek sendiri maupun bersama dengan pejabat negara lainnya, kasus tidak hanya terjadi di PT jamsostek akan tetapi kasus serupa juga terjadi dan terakhir adalah yang sedang dalam pengusutan di PT ASABRI.
Keenam : kecilnya keterlibatan buruh dan serikat buruh dalam menentukan kebijakan-kebijakan kerja PT jamsostek, hal ini bisa dimaklumi, mengingat perwakilan buruh yang masuk dalam struktur perusahaan PT jamsostek hanya 2 orang, yakni perwakilan dari SBSI dan SPSI. Keberadaan mereka selain secara prosedur tidak jelas karena tidak memiliki dasar pijakan hukum, disisi lain secara politis mereka tidak memiliki cukup kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan kerja PT jamsostek.
Ketujuh : dana jaminan hari tua (JHT) yang paling banyak menumpuk di PT jamsostek selama ini di investasikan dalam usaha produktif oleh PT Jamsostek, akan tetapi keuntunganya tidak kembali ke pekerja, tapi justru sebagian keuntungan disetorkan pada pemerintah dalam bentuk deviden, selaku pemegang saham tunggal PT Jamsostek.
Secara umum masalah yang muncul ini berangkat dari dua masalah besar, yakni mandulnya penegakan hukum dalam mengawal pelaksanaan jamsostek, dan longgarnya aturan hukum yang ada, tapi untuk melihat sejauhmana komitmen pemerintah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ini ada baiknya kita mencoba untuk melihat beberapa perubahan yang diusung dalam RUU Jamsospek. Beberapa poin perubahan yang menjadi usulan dalam RUU jamsospek adalah :
Pertama : perubahan nama tenaga kerja menjadi pekerja, perubahan ini menyangkut pada devinisi tenaga kerja maupun juga definisi jaminan sosialnya, lebih jauh bisa dilihat dalam ketentuan umum pasal 1 ayat (1 dan 2), kedua : perubahan badan penyelenggara, kalau dalam UU 03/1992 badan hukum penyelenggara adalah Badan Usaha Milik Negara, sementara dalam RUU badan penyelenggara adalah Badan Perlaksana jaminan sosial pekerja (BPJS) pekerja, ketiga : program jaminan sisial yang awalnya 4 program dalam RUU ditambah dengan jaminan pensiun, jaminan pemutusan hubungan kerja dan jaminan peningkatan produktifitas.
Keempat : sanksi bagai perusahaan yang tidak menjalankan program jamsostek, dalam UU lama sanksi pidana adalah kurungan 6 bulan penjara atau denda maksimal 50 juta dan ketika terjadi pengulangan maka akan dikenakan sangsi kurungan 8 bulan penjara, dan dalam RUU sanksi adalah kurungan 1 tahun penjara atau denda maksimal 100 juta, sementara ketika terjadi pengulangan sanksi menjadi 2 tahun penjara atau denda maksimal 200 juta.
Sikap Serikat Pekerja
Pada tanggal 23 Januari 2008, Komisi IX mengundang beberapa serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka RDPU (rapat dengar pendapat umum), di mana dibahas Draft II RUU Perubahan atas UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Naskah Komisi IX DPR RI tanggal 15 Januari 2008 (selanjutnya Draft 15 Januari 2008). Dalam dengar pendapat ini sebagian besar SP/SB menolak draff RUU jamsostek fersi komisi IX, walaupun sebagian besar sepakat bahwa UU no 3/1992 perlu di amandemen, akan tetapi ada beberapa prasyarat yang harus ada dalam amandemen ini :
badan hukum pelaksanaan jaminan sosial harus di bentuk oleh dewan wali amanah, dewan wali amanah sendiri diangkat oleh presiden melalui fit and proper test yang dilakukan di depan DPR.
Dasar pijakan hukum lembaga perlaksana Jamsostek bukan PT atau BUMN, karena kalau bentuknya PT atau BUMN maka badan ini akan tunduk pada UU No. 40/2007 ttg PT dan UU No. 19/2003 ttg BUMN, yang prinsip utamanya adalah mencari keuntungan dan memberikan deviden pada Pemerintah. Karena hal ini bertentangan dengan prinsip nirlaba dan wali amanat yg diatur UU 40/2004 tentang jaminan sosial nasional. Usulanya adalah Dewan Wali Amanat dan Badan Pelaksana yg diangkat oleh Dewan Wali Amanah, komposisi dewan wali amanah terdiri dari Komite Investasi, Komite Pengawas dan Komite Audit.
tidak ada pemisahan antara pekerja formal dan informal, artinya semua buruh harus dilibatkan dalam jaminan sosial.
program tidak menambahkan pesangon dan peningkatan produktifitas, karena akan tumpang tindih dengan aturan hukum yang lain, penambahan program baiknya memasukan jaminan pensiun dan jaminan pengangguran.
sanksi dengan denda maksimal 100 juta dinilai kurang kuat, hal ini dinilai tidak cukup memberikan efek jera. Usulanya adalah denda 10 kali lipat dari dana yang tidak diberikan pada buruh, dan harus membayarkan hak jaminan sosial buruh yang belum terbayar, dan maskimal adalah penutupan usaha.
Campur Tangan Pengusaha
Setelah mencermati beberapa persoalan yang ada, baik dalam pelaksanaan, usulan revisi maupun pendapat serikat pekerja, penulis berkesimpulan bahwa persoalan terbesar terhambatnya jaminan sosial bagi pekerja yang selama ini terjadi adalah disebabkan oleh adanya campur tangan pengusaha dalam pelaksanaan kerja PT jamsostek baik secara pribadi maupun kelembagaan. Argumentasi ini dibangun berdasarkan pengalaman dari kasus-kasus perselingkuhan antara pejabat publik dengan pengusaha yang marak terbongkar akhir-akhir ini, persoalan-persoalan hukum yang banyak diselesaikan dibawah meja menjadikan burh menjadi korban dari sisitem yang tidak berpihak.
Rencana revisi yang memasukan pengusaha kedalam badan pengawas dan badan pelaksana, sungguh sangat tidak berdasar, bagaimana mungkin dana yang sudah jelas-jelas menjadi milik pekerja masih diatur oleh pengusaha, idealnya badan pelaskana adalah badan yang dikelola oleh sebuah lembaga yang transparan dan yang menjalankan adalah buruh atau serikat buruh bersama-sama dengan pemerintah, peran serta negara dalam pengelolaan ini adalah satu hal yang prinsip dan final, akan tetapi bukan untuk mengambil keuntungan dari lembaga ini. Sistem lembaga seperti ini akan memungkinkan baik perlindungan terhadap hak pekerja lebih terjamin, disisi peran lembaga ini dalam melakukan intervensi terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak mau menunaikan kewajibanya membayarkan hak-hak pekerja akan mampu berjalan lebih baik, dan penegakan hukum bisa maksimal berjalan.
Lalu pertanyaanya adalah dimana seharusnya pengusaha berperan, penulis lebih berpendapat bahwa peran pengusaha idealnya hanya diberi hak dalam mengusulkan materi yang akan menjadi bahan perumusan kebijakan.

*Aktif di Yayasan Wahyu Sosial (YAWAS) Semarang.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar