Minggu, 18 November 2007

PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL YANG MENYESATKAN

Oleh: T Denny Septiviant, SH – Advokat, Direktur Klinik Hukum

Setelah mengalami penundaan selama satu tahun melalui Perpu 1/2005, akhirnya Peradilan Hubungan Industrial (PHI) telah resmi beroperasi sejak 14 Januari 2006 lalu. Meski demikian, ternyata implementasi sistem pengadilan hubungan industrial di Indonesia masih belum efektif. Dalam diskusi yang diselenggarakan ILO di Jakarta, jumat (21/9) lalu mengemuka dari kalangan hakim, pengusaha dan buruh bahwa lembaga ini memerlukan sistem baru agar bisa lebih efektif dalam menangani sengketa ketenagakerjaan.[1]
Kritik yang mengemuka dalam diskusi tersebut sebenarnya sebuah resonansi dari keluhan-keluhan kalangan buruh terhadap kinerja PHI. berdasarkan interview singkat dan survey sederhana sebelum tulisan ini dibuat, keluhan tersebut secara garis besar mempersoalkan hal-hal terkait prosedur berperkara yang berbeda dengan pola lama (P4D/P4P), diantaranya:
1. formalitas proses penyelesaian perselisihan
Hampir seluruh ketentuan dalam Pengadilan Hubungan Industrial mensyaratkan adanya pendaftaran serta bukti-bukti. Bahkan saat proses masih berada di tingkat bipartit. Hal ini baik untuk sudut administratif tetapi menyulitkan buruh. Butuh penyesuaian dalam hal ini, karena berpotensi menghambat walaupun secara substansi benar.
Memang dalam praktik saat ini, alasan formal ini menjadi tidak terukur dan bahkan dapat mengganjal buruh mendapatkan keadilan. Sedemikian banyak kasus yang dinyatakan tidak dapat diterima (NO) oleh majelis hakim. Berapa banyak kemudian buruh yang masih memiliki energi (waktu dan uang) untuk menggugat kembali. Belum lagi bila dikaitkan waktu daluarsa dalam pasal 82 yaitu satu tahun sejak diterima atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha. Apakah untuk putusan NO, waktu daluarsa tetap dihitung sejak keputusan pengusaha diterima? Bagaimana bila proses mulur dari waktu yang ditetapkan undang-undang sehingga putusan NO diterima pas setahun sejak putusan diterima/diberitahukan oleh pengusaha?
Selain itu, formalitas ini dikaitkan dengan potensi pungli oleh panitera PHI, dapat menjadi penghalang serius bagi buruh yang ingin berjuang melalui PHI.
2. Potensi pembiasan pelanggaran hak normatif dari konteks hukum pidana ke perselisihan perdata
Salah satu kewenangan PHI untuk mengadili perselisihan hak sama dengan mengatakan pelanggaran hak normatif ditolerir oleh negara. Karena pentoleriran itu, alih-alih pelakunya dipidanakan, justru pelanggaran tersebut dapat dinegosiasikan (ingat seluruh proses PHI harus melalui musyawarah dengan berbagai tingkatannya)
3. Meminimalisir kewenangan pegawai pengawas
Terkait dengan problem di atas, penyelewengan pidana dalam pelanggaran hak menjadi perselisihan perdata juga berimplikasi pada tugas dan kewajiban pegawai pengawas ketenagakerjaan. Pengusaha dapat dengan mudah menolak pengawasan yang dilakukan dengan alasan sedang diperselisihkan di PHI.
Pembatasan waktu di PHI dibandingkan dengan kinerja pegawai pengawas yang lambat, juga dapat dipastikan membuat gugatan pengusaha atas perselisihan hak akan selesai lebih dulu dibandingkan dengan laporan buruh ke pegawai pengawas.
4. Kekosongan Hukum (leempte) yang bisa digunakan pengusaha
Sebelum gugatan dapat diajukan ke PHI, disyaratkan harus melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Masalah muncul dalam mediasi dan konsiliasi apabila salah satu pihak tidak setuju dengan anjuran yang dikeluarkan mediator/konsiliator. Aturan menyebutkan perselisihan diselesaikan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak. Karena tidak ada batasan waktu untuk mengajukan gugatan beserta implikasi bila melewati batasan waktu tersebut, sering kali pengusaha menolak anjuran serta membiarkan saja kasus menggantung. Sehingga, melawan akal sehat, buruh yang dimenangkan dalam anjuran mengajukan gugatan agar kasusnya berjalan dan haknya terpenuhi.

BURUH GAGAP DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Sebagaimana kita pahami, UU PHI mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan (nonlitigasi) dan di PHI (litigasi), yang berbeda dari UU yang digantikannya (UU 22/1957 dan UU 12/1964). Dimana dalam prosedur penyelesaian perkara perburuhan format aturan lama, tidak melibatkan unsur lembaga yudikatif (peradilan). Seluruh rangkaian penyelesaian perburuhan ditangani oleh lembaga eksekutif dengan dibantu perwakilan serikat buruh dan organisasi pengusaha dalam P4D dan P4P.
Prosedur PHI mengharuskan penyelesaian nonlitigasi mutlak ditempuh. Yaitu diawali melalui mekanisme penyelesaian bipartit di perusahaan, dilanjutkan dengan penyelesaian melalui media konsilisasi atau arbitrase (sesuai dengan jenis perselisihannya) sebagai penyelesaian menggunakan pilihan alternatif (alternative dispute resolution) atau menggunakan cara mediasi pada Disnaker setempat. Apabila setelah melalui berbagai penyelesaian nonlitigasi tidak tercapai kesepakatan, maka pihak yang merasa dirugikan (biasanya pihak buruh) bisa mengajukan gugatan ke PHI.
Keluhan dari kalangan buruh mengemuka ketika harus memasuki tahap Pengajuan Gugatan ini, dimana system Hukum Acara Perdata mutlak harus dikuasai dengan benar. Keluhan tersebut dirasakan sejak dari membuat gugatan yang benar -baik dari aspek formal maupun aspek materiil- serta petitum gugatan, pengumpulan alat bukti formal, sampai pada pemeriksaan perkara, putusan dan pelaksanaan putusan (eksekusi).
Pengetahuan hukum tentang hukum acara perdata serta keterampilan buruh yang sangat minim dalam berproses di Pengadilan Hubungan Industrial membuat buruh tidak berdaya dalam menuntut haknya yang dilanggar oleh pengusaha.
Gugatan yang dibuat buruh kerap dinyatakan salah sehingga harus dibuat ulang. Akan tetapi, itulah sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang ditawarkan negara kepada buruh.
Bagi pengusaha, minimnya pengetahuan dan kemahiran berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) bisa disiasati dengan menunjuk advokat sebagai kuasa hukum. Sementara bagi buruh yang memiliki banyak keterbatasan, harus berpikir seribu kali jika ingin meminta bantuan Advokat.
Akibat ketentuan ini, para buruh atau serikat buruh yang "dipaksa oleh sistem" untuk mengikuti aturan hukum acara perdata dalam berperkara di PHI, sering kali dihadapkan pada putusan NO (Niet Onvankelijk ) atau gugatan tidak diterima.

LATAR BELAKANG PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Dasar hukum PHI adalah UU 2/2004. Undang-undang ini merupakan bagian terakhir dari 3 paket UU perburuhan yang merupakan turunan dari UU 25 Tahun 1997. 2 UU lainnya adalah UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan UU 13/2003 tentang UU Ketenagakerjaan. Karenanya tidak heran pembentukannya masih dilatari kepentingan Lembaga Keuangan Internasional.[2]
Ketiadaan kepentingan perlindungan bagi buruh dalam latar pembentukan UU 2/2004 menyebabkan tiadanya argumentasi logis untuk menjelaskan perlunya perubahan corak penyelesaian perselisihan perburuhan.
Sistem PHI jika dicermati ternyata tidak hanya membuat buruh semakin tidak berdaya, namun negara juga kehilangan perannya dalam memproteksi hak-hak buruh, terlepas apakah itu disengaja atau tidak. Jaminan dan penegakan hak-hak buruh sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dimaksimalkan oleh negara.
Negara yang seharusnya menjalankan peran pengawasan dan menjadi ujung tombak untuk melakukan upaya pencegahan terjadinya pelanggaran hak-hak buruh tidak mengambil tindakan tegas menghadapi para pelanggar hak-hak buruh. Sebaliknya, UU No2/2004 tentang PPHI memberikan peluang bagi pelanggar hak untuk memperselisihkan pelanggaran tersebut melalui PPHI. Ini menunjukkan bahwa negara tidak konsisten dengan kewajibannya melakukan pengawasan pelaksanaan hukum ketenagakerjaan.
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan peran yang signifikan kepada negara untuk menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan melalui lembaga pengawasan ketenagakerjaan. Pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas yang berkompeten dan indenpenden (Pasal 176 UU No 13/2003), serta ditunjang oleh penyidik yang diatur dalam Pasal 182 UU No 13/2003, dan sanksi hukum baik pidana mupun administratif (Pasal 183- 190).
Sulit dimengerti ketika negara mengeluarkan produk hukum (PPHI) yang mengatur penyelesaian perselisihan perburuhan antara buruh dan pengusaha menjadi permasalahan perdata (privat). Sebab jika ketentuan ini diterapkan, berarti negara tidak perlu ikut campur tangan menyelesaikannya.
PPHI memberikan tawaran-tawaran yang lebih lunak dalam menyelesaikan pelanggaran hak-hak buruh karena memberikan kesempatan bagi pengusaha dan buruh memperselisihkan adanya pelanggaran hak yang dijamin peraturan perundang-undangan. Definisi perselisihan hak menurut Pasal 1 ayat (2) UU No2/2004, "perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan, perjanjian kerja, perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama."
Fakta ini menunjukkan bahwa negara tidak berperan mengedepankan pengawasan dan penegakan hukum serta pemberian sanksi terhadap pelanggar hak-hak buruh. Padahal, peran ini penting sebagai upaya meminimalisasi terjadinya pelanggaran hak-hak buruh. Dari hal ini nampak bahwa tujuan Sesungguhnya UU PPHI adalah Individualisasi dan Pelemahan Serikat Pekerja.
Sebelum PHI, UU 22/1957 membentuk sistem penyelesaian perselisihan perburuhan sesuai hakekat hubungan perburuhan yaitu tidak seimbangnya posisi buruh-majikan. Karenanya perselisihan perburuhan dibuat bersifat kolektif (tidak individual) dan semi peradilan yaitu tidak sepenuhnya berada di bawah kekuasaan yudikatif (anggota P4D/P adalah gabungan dari unsur buruh, pengusaha dan pemerintah) tapi mempunyai kekuatan hukum tetap (yang karenanya dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan negeri).
Dengan UU 2/2004 terjadi perubahan besar yaitu hilangnya corak perselisihan perburuhan yang istimewa sesuai dengan asumsi hakekat hubungan perburuhan yang subordinate tersebut. Ide besar UU PPHI adalah individualisasi perselisihan perburuhan Lihat misalnya ketentuan tentang pengajuan gugatan ke PHI. Dalam mekanisme di P4D/P, pihak yang tidak setuju dengan hasil tripartit (anjuran), tidak perlu mengajukan gugatan untuk dapat dilanjutkan perkaranya ke P4D/P. Cukup menyatakan penolakannya maka (berkas) perkara akan diteruskan secara otomatis oleh pegawai perantara ke P4D/P. Lain halnya dengan PHI. Pihak yang tidak setuju harus melakukan tindakan aktif, membuat serta mendaftarkan gugatan, agar perkaranya dapat terus ke tahap perselisihan berikutnya.
UU PPHI juga mempunyai agenda tersembunyi melemahkan gerakan serikat buruh. Lingkup kewenangan PHI salah satunya adalah perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Modus operandi membentuk serikat buruh tandingan yang seringkali dilakukan pengusaha untuk membendung gerakan serikat buruh mensejahterakan anggotanya, diberikan tajinya dengan masuknya perselisihan antar serikat buruh dalam salah satu kewenangan pengadilan hubungan industrial. Serikat buruh akan kelelahan serta habis energinya untuk berselisih satu sama lain. Akibatnya, tujuan semula mengurus kesejahteraan anggota akan tersisihkan.

TAWARAN DISKUSI

Berbagai masalah dalam UU PPHI menunjukkan posisi tawar yang lemah dari serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Karenanya tentu saja apabila ingin merubah undang-undang hal tersebutlah yang utama harus diperbaiki. Meski demikian, sembari melakukan konsolidasi tersebut tetap tersedia langkah jangka pendek untuk mempersiapkan perubahan jangka panjang yang lebih fundamental. Secara garis besar langkah ini bertujuan untuk melakukan pembusukan sistem dengan menunjukkan kelemahan-kelemahan dari PHI.

N
[1] Kompas, Sabtu, 22 September 2007
[2] Following the major reform of the rights of association and union activity in 2000, modernization of complementary labor legislation relating to industrial relations has become a priority. A bill relating to labor protection has now been passed, and we are working closely with Parliament to ensure that the other bill in this area, on industrial dispute resolution, is enacted during the first half of 2003. We are working with labor and business to ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including freedom of association, and preserving a flexible labor market. (Letter of Intent Indonesia 18 Maret 2003, dapat dilihat di http://www.imf.org/External/NP/LOI/2003/idn/01/index.htm )

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar