Minggu, 18 November 2007

Kenapa Buruh Kontrak = Perbudakan

Oleh : Khotib oe Sunhaji *
Sabdo panditha ratu, kalau di terjemahkan secara asal kira-kira terjemahanya adalah “perkataan raja adalah hukum/ kebenaran” dan lebih ekstrim lagi diterjemahkan perkataan raja adalah perkataan Tuhan. Praktek ini secara sistematis diidentikan dengan satu proses “manunggaling kawula gusti”atau penyatuan nilai-nilai ketuhanan dalam diri sang raja. Kepercayaan ini setidaknya menjadi kepercayaan yang sudah cukup mengakar dan menjadi sistem pikir masyarakat kita, pola ini membagi masyarakat dalam 2 kelas kelas yakni kelompok gusti atau raja dengan kawula/rakyat biasa, kalau diterjemahkan kawula adalah budak, sahaya, abdi. Dalam relasi kawula gusti hak kemerdekaan hanya dimiliki oleh sang raja.
Kalau ditelusuri sejarah para raja ini sejalan dengan praktek kekaisaran, kesultanan, atau di indonesia lebih dikenal dengan sistem kerajaan, sistem politik ini muncul setelah atau bersamaan dengan lahirnya sistem hukum keagamaan, terlepas dari kontribusinya dalam memberikan sumbangan pemikiran pada praktek perubahan di dunia, sistem kekuasaan model kerajaan yang melahirkan praktek perbudakan ini, pun kalau dilihat dari perspektif kemerdekaan hari ini banyak melahirkan praktek pembodohan, penindasan, penjajahan dan praktek-praktek pembantaian masal. Proses ini terlahir dari praktek monopoli kekuasaan raja, karenanya tidak ada kekuatan ataupun hukum lain yang dapat mengontrol kakuasaan sang raja dalam satu wilayah kekuasaan. Peralihan kekuasaan hanya bisa lahir dengan melalui mekanisme peperangan, dan dalam masa peralihan ini posisi masyarakat hanyalah sebagai alat kekuasaan dan korban dari kepentingan raja.
Di eropa praktek kekaisaraan di akhiri bersamaan dengan munculnya proses revolusi industri di prancis, karena bersamaan dengan revolusi industri gagasan munculnya sistem baru yang bernama “negara bangsa” di usung oleh oleh para pedagang. Lambat tapi pasti, gagasan ini di anggap lebih baik dibandingkan praktek kekuasaan model kerajaan, maka di awal tahun 1900 an peralihan sistem kekuasaan di seluruh dunia banyak terjadi, tidak ketinggalan indonesia. Beralihnya penamaan dalam sistem kuasa ini pun terjadi perubahan penamanan status dari budak, menjadi kuli, dan dari kuli menjadi buruh atau pekerja ataupun karyawan apakah menjadi tanda bahwa praktek monopoli kekuasaan sudah berakhir, apakah penandatangan naskah pelarangan perbudakan oleh seluruh negara secara langsung mengakhiri praktek perbudakan. Mungkin saja praktek praktek peralihan kekuasaan di banyak negara sudah memberikan banyak angin perubahan, tapai bagaimana di indonesia.
Di indonesia, praktek perbudakan dinyatakan habis bersamaan dengan munculnya proklamasi kemerdekaan, kelompok kawula kemudian terpecah dalam beberapa disiplin kelompok kerja, petani, nelayan, kuli. Bersamaan dengan era industrialisasi di indonesia kuli beralih status menjadi buruh. Setelah 62 tahun praktek-praktek industri di indonesia belum banyak perubahan, industri masih dipenuhi oleh model-model industri padat karya, dan buruh murah masih dijadikan andalan untuk menarik investor untuk datang.
Reformasi sebagai yang di harapkan bisa menjadi proses pendewasaan kekuasaan, ternyata pada prakteknya tidak memberikan dampak perubahan ke arah yang lebih baik. Reformasi justru secara kasat mata menjadi tanda habisnya era kekuasaan negara, sumbu kekuasaan sudah tidak lagi di tangan para pejabat pemerintahan, tapi sumbu kekuasaan sudah tenggelam dalam genggaman para komprador modal, dan raja-raja kecil dengan sabdo panditha ratunya dilahirkan kembali dalam bentuk yang berbeda yakni corporasi.
Buruh kontrak dan outsourcing menjadi “tanda” dari lahirnya model kekuasaan terahir. Modal menjadi “tuhan” baru yang memberikan legitimasi pada raja-raja kecil untuk bertindak sewenang-wenang pada para kawula, yang dalam relasi ini adalah buruh kontrak dan outsourcing, upah, waktu dan masa kerja mutlak menjadi monopoli para pengusaha. Raja-raja pada kenyataanya lebih menginginkan maksimalisasi keuntungan untuk melebarkan sayap corporasinya, dan budak-budak hanya bisa bersikap pasrah pada roda sistem yang membunuh kemerdekaan mereka. Benarkah demikian, kita semua berhak untuk merenungkannya.

Aktif di Yayasan Wahyu Sosial (YAWAS) Semarang *

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar