Sabtu, 29 Desember 2007

DIMANAKAH PERJUANGAN KESEJAHTERAAN BURUH?

Oleh : Rois Setiawan*

Palu keputusan sudah di ketok, tidak ada lagi ruang bagi buruh untuk menikmati usulan upah yang dimintanya. Negosiasi yang alot, tarik ulur kepentingan, hanya bisa menghasilkan buruh pasrah dan kembali kepabrik, lagi dan lagi. Karena seperti tahun-tahun sebelumnya, buruh pasti kalah dan menjadi korban kebijakan. Harapan hanya tinggal harapan. Massa yang begitu banyak ternyata tidak bisa meluluhkan hati para pengambil kebijakan. Mungkin tangisan, dan harapan dari buruh kali ini tidak lebih dari nyanyian sumbang yang menyakitkan gendang telinga. Seperti tahun sebelumnya, berlalu begitu saja dan tidak terlaksana. Pasrah, itukah yang dapat dikatakan?
Upah selama ini diibaratkan sebagai tolak ukur kesejahteraan buruh, karena dengan upah buruh dapat melanjutkan hidup, begitupun juga orang yang mereka tanggung hidupnya. Anak, istri, dan keluarga yang lain. Semua tergantung dari hasil jerih payah dari keringat, tenaga yang dikeluarkan. Yang akhirnya buruh tidak merasakan bahwa bekerja merupakan bagian dari hidupnya. Tapi hidup untuk bekerja. Tapi semua angan-angan untuk menikmati kehidupan yang sejahtera itu tergadaikan. Dengan berbagai alasan, dan berbagai macam argumentasi yang ujung-ujungnya mengabaikan kesejahteraan buruh. Untuk makan sehari saja masih ngutang apalagi untuk membiayai hidup keluarga dan menyekolahkan anak. Tidak ada sisa yang bisa ditabung.
Di negara kita yang kaya-raya ini, alasan investasi masih menjadi topik utama. Dan bila disangkutkan pada buruh, pasti yang keluar adalah kebijakan upah murah. Yaitu dengan anggapan bahwa semakin banyaknya upah yang diterima buruh maka investor tidak akan mau masuk dan negara akan bangkrut. Alasan lain juga mengatakan bahwa, jika upah dinaikkan pasti tidak akan menyerap pengangguran atau tenaga kerja. Alasan yang memang sebenarnya tidak logis. Semuanya hanya akal-akalan dari pengusaha untuk dapat menekan biaya produksi yang dikeluarkan, dengan harapan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Itulah konsep para pedagang yang selamanya tidak akan nyambung dengan kepentingan dari para buruhnya.
Terlepas dari kebijakan yang timpang tersebut, sebenarnya ada beberapa hal yang perlu kita refleksikan bersama. Pertama, tidak adanya nilai tawar buruh. Banyak sekali faktor penyebab itu semua, mulai dari skill, pengetahuan dan perwakilan buruh itu sendiri. Serikat pekerja yang seharusnya menjadi tempat untuk berjuang, ternyata tercerai berai tidak ada kebersamaan. Mereka hanya mementingkan golongannya masing-masing. Tidak adanya gerakan yang massif dari semua buruh, setidaknya itulah yang dirasakan saat ini, sehingga semangat perjuangan buruh menjadi setengah-setengah. Terlebih lagi diindikasikan ada “permainan” dari elit serikat itu sendiri. Sehingga suara buruh menjadi terbungkam dan nilai tawar dari serikat pekerja tidak ada artinya dimata pengusaha maupun pemerintah. Sangat menghawatirkan.
Kedua, adanya pergeseran makna mengenai upah. Upah yang dulunya sebagai harga dari keringat buruh untuk memenuhi kesejahteraan mereka, sekarang hanya sebatas untuk makan sehari saja. Ketiga, tidak adanya dukungan dari anggota serikat dalam dewan pengupahan. Keempat, adanya faktor politis yang berimbas pada upah buruh, seperti pungutan-pungutan liar, dan kenaikan TDL yang seharusnya tidak ditanggung oleh buruh. Kelima, kesejahteraan buruh hanya dilihat dari faktor upah saja, tidak melihat faktor yang lain, seperti kesehatan, pendidikan, dan juga jaminan kerja.
Dari beberapa hal diatas, perlu adanya pemaknaan kembali terhadap perjuangan atas upah itu sendiri. Pertama, bagaimana memperkuat kembali posisi tawar buruh. Dengan bersatu dalam perjuangan, karena kebersamaan adalah kekuatan utama bagi buruh, bagaimana buruh bisa sejahtera kalau semua berjalan sendiri-sendiri. Dan jangan sampai ada dusta diantara serikat dan anggotanya. Semua harus berteriak sama “kesejahteraan buruh”. Kedua, adanya peningkatan skill dan kemampuan dari buruh itu sendiri, dari hasil survei mengatakan bahwa hanya buruh yang berkerah putih saja yang dapat menikmati kenaikan upah, sedangkan buruh kelas rendah tidak dapat menikmati kenaikan upah karena alasan pabrik sedang pailit atau apalah.
Keempat, kesejahteraan buruh jangan hanya dimaknai sebatas upah saja. Masih banyak fasilitas yang lain yang dapat dimanfaatkan buruh. Jika memang upah sudah tidak dapat memenuhi kesejahteraan, buruh bisa meminta kompensasi yang lain. Misalnya mendapatkan bea siswa pendidikan, fasilitas rumah murah, kesehatan, sukur-sukur dapat mendirikan koperasi yang dapat dikelola secara swadaya oleh buruh itu sendiri. Tanpa harus mengabaikan bahwa memang upah sebagai perkara utama yang sangat penting. Jika buruh punya nilai tawar, pasti tidak akan pernah dicurangi pengusaha maupun pemerintah. Ahirnya kesejahteraan dapat terlaksana. Tapi mungkinkah hal itu akan terjadi®

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar