Senin, 03 Oktober 2011

Dicari, Serikat Berperspektif Gender

* Oleh Siti Qomariyah
11 Agustus 2010


KEMAJUAN teknologi menyebabkan perubahan cukup signifikan pada kehidupan perempuan. Industrialisasi membujuk perempuan bekerja di luar rumah (pabrik) dengan iming-iming gaji untuk “menambah” biaya pemenuhan kebutuhan keluarga. Namun kehidupan mereka tak pernah beranjak dari kemiskinan.

Keadaan itu memicu perubahan pola relasi perempuan dengan keluarga dan masyarakat di sekitar. Itu wajar, karena waktu perempuan berkumpul dengan keluarga dan bersosialisasi dengan masyarakat berkurang. Setidaknya mereka menghabiskan delapan jam dari 24 jam waktu dalam sehari di pabrik untuk bekerja. Secara tak langsung, peran perempuan sebagai ibu bagi anak pun berkurang. Anak jadi korban karena keminiman perhatian.

Masyarakat Jawa kental dengan budaya patriarki. Namun itu tak menghambat perempuan bekerja di luar rumah. Hanya membatasi ruang gerak mereka karena dianggap the second sex. Posisi dinomorduakan itu memicu perlakuan berbeda (diskriminasi) antara laki-laki dan perempuan pekerja.

Pertama, perempuan dianggap bertenaga lemah, kurang keahlian, cengeng, dan lebih emosional. Kedua, perempuan bekerja hanya untuk ”membantu” perekonomian keluarga. Bukan pencari nafkah utama. Itu berimbas terhadap upah murah yang kerap mereka terima. Ketiga, penempatan posisi perempuan yang kurang adil dalam perusahaan. Jabatan penting di perusahaan, seperti direktur, manajer, mandor, kepala gudang, sering dikuasai lelaki. Sebagian besar perempuan hanya jadi buruh dan tak mendapat kesempatan meraih jenjang karier lebih tinggi.

Keempat, tak jarang perempuan pekerja, terutama shift malam, dilecehkan secara seksual oleh atasan atau sesama pekerja. Namun itu dianggap risiko dan menjadi sesuatu yang lumrah. Jarang sekali kasus pelecehan seksual di tempat kerja mendapat perhatian dan sang pelaku dihukum secara setimpal. Akhirnya, perempuan hanya jadi objek dari struktur besar yang berjalan.

Dasawarsa terakhir ini, seiring dengan kemerebakan sistem labour market flexibility (LMF), perempuan pekerja lebih diminati kalangan industri, terutama sektor tekstil, sandang, dan kulit. Itu wajar, karena perempuan dengan pendidikan rendah dan keahlian minim mudah dikendalikan serta mau dibayar murah. Selain itu, tingkat resistensi perempuan jauh lebih rendah daripada lelaki. Perempuan jauh lebih sabar, teliti, dan tahan bekerja di bawah tekanan.
Minim Pengalaman Keminiman pengalaman berorganisasi dan pendidikan menjadikan perempuan sulit membuat keputusan, bahkan untuk diri sendiri. Apalagi yang berkait dengan hajat hidup orang banyak. Itu berimbas terhadap pola relasi kerja. Mereka sering jadi objek kebijakan perusahaan atau pemerintah. Hak yang seharusnya mereka peroleh, misalnya cuti haid, hamil, jamsostek, tunjangan, lembur, acap diabaikan.

Dilihat dari tingkat partisipasi, perempuan jarang terlibat aktif dalam perserikatan. Sebab, perempuan memiliki tanggung jawab berlipat ganda. Setelah bekerja, mereka dituntut menyelesaikan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Artinya, perempuan pekerja kerap kali menderita double burden. Ada pemeo, ”perempuan bekerja sejak matahari terbit sampai mata suami terbenam”.

Kondisi itu membuat perempuan pekerja tak tahu hak mereka karena minim informasi. Dan, ketika ingin menuntut, mereka tak memiliki kekuatan dan keberanian melawan sistem besar itu. Jadi wajar bila perempuan pekerja jarang menyikapi secara kritis berbagai kebijakan yang tak berpihak pada mereka.

Lagi-lagi, perempuan hanya jadi korban industrialisasi. Iming-iming kesejahteraan hanya isapan jempol. Realitasnya, perempuan yang bekerja dari kalangan ekonomi rendah yang berpendidikan minim dan tak memiliki keahlian khusus sehingga dibayar murah dan mendapat perlakuan seenak hati. Industrialisasi tak lebih dari proses eksploitasi terhadap tenaga perempuan.
Cenderung Maskulin Selama ini serikat pekerja cenderung maskulin dan tak memiliki sensitivitas gender. Jarang sekali ada serikat memiliki perhatian terhadap persoalan perempuan pekerja. Padahal, anggota serikat kebanyakan perempuan. Di Pekalongan, misalnya, 75% pekerja industri tekstil adalah perempuan. Namun keterlibatan perempuan dalam serikat juga sangat minim. Mereka hanya didaftar sebagai anggota dan membayar iuran, tetapi tak terlibat kegiatan secara keseluruhan. Ironisnya, serikat tak memiliki program yang bisa mendorong keterlibatan perempuan agar lebih aktif. Kondisi itu tak jauh berbeda dari kota-kota industri lain, yang bahkan lebih parah.

Dalam struktur kepengurusan serikat, perempuan jarang menduduki posisi strategis sehingga tak ada yang mewakili kepentingan perempuan pekerja. Tak mengherankan jika isu-isu berkait persoalan perempuan, seperti cuti haid, cuti hamil, penerapan K3, kasus pelecehan seksual, menjadi isu yang tidak seksi.

Bahkan ada kecenderungan perempuan pekerja hanya dimanfaatkan sebagai massa aksi ketika demonstrasi. Semestinya perempuan pekerja mendapat pendidikan untuk membangun kesadaran agar tak berkesan dimanfaatkan. Proses pendidikan dan keterbukaan informasi menjadi vital untuk mendorong keaktifan perempuan pekerja dalam serikat.

Sudah saatnya serikat berbenah diri dan menyolidkan gerakan dengan mengedepankan asas keadilan dan kesetaraan gender. Serikat buruh berperspektif gender bisa menjadi strategi bagi perjuangan menghadapi sistem labour market flexibility. Fauzi Abdullah mengatakan, ”Setiap konsep dan strategi itu mutlak dicocokkan dengan karakter dan lingkup kehidupan buruh dan gerakan buruh di Indonesia.”

Kekuatan informasi berperan penting sebagai basis dalam membangun strategi gerakan buruh. Jadi semestinya bila perjuangan serikat buruh tak melupakan perempuan sebagai bagian dari ”akar rumput”-nya. (51)

– Siti Qomariyah, Divisi Informasi dan Dokumentasi LSM Yayasan Wahyu Sosial (Yawas) Semarang, Departemen Kaderisasi Perempuan Korps PMII Putri (Kopri) Jawa Tengah

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar