Senin, 03 Oktober 2011

Yawas Tolak UMK Usulan Wali Kota

SEMARANG - Upah adalah hak dasar buruh yang fundamental, sebab upah merupakan jaminan keberlangsungan hidup buruh. Dari tahun ke tahun kondisi upah buruh di Jateng tak pernah beranjak dari keterpurukan. Penetapan Upah minimum kota/kabupaten (UMK) menjadi transaksi politik antarkelompok berkepentingan, yakni buruh dan pengusaha.
Divisi Informasi dan Dokumentasi Yayasan Wahyu Sosial (Yawas) Siti Qomariyah, kemarin mengatakan, pemerintah diharapkan mampu membuat jaring pengaman untuk kelompok terlemah dan tidak menyalahgunakan perannya menjadi makelar pemilik modal.

Mengutip data dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tentang Upah Minimum Provinsi (UMP), seluruh provinsi di Indonesia, Jateng menduduki urutan pertama upah terendah se-Indonesia, yakni setelah Jawa Barat dan Jawa Timur dengan kenaikan upah 2010 dari Rp 660.000 ke 2011 menjadi Rp 675.000.
”Kenaikan UMP antara satu daerah dengan lainnya tidak sama karena bergantung dari sejumlah indikator, terutama terkait tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, daya beli dan kebutuhan hidup pekerja di daerah masing-masing. Hal ini mengundang keprihatinan tersendiri terhadap nasib buruh,” katanya.

Dipaparkan, pada tahun ini dari 35 kabupaten/kota di Jateng hanya ada lima daerah yang UMK-nya mencapai 100% Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yakni Kota Semarang (Rp 961.323), Salatiga (Rp 843.469), Kabupaten Boyolali (Rp 800.500), Sukoharjo (Rp 790.500), dan Klaten (Rp 766.022).
”Artinya ada 30 kabupaten/kota yang UMK-nya di bawah standar hidup layak bagi seorang manusia. Kondisi upah di Jateng jauh tertinggal dari upah di daerah lain. Salah satunya Provinsi DKI Jakarta yang mengalami peningkatan sebesar 15,38 persen yaitu dari Rp 1.118.009 pada 2010 menjadi Rp 1.290.000 pada 2011,” ungkap dia.

Tertarik Merantau

Dengan alasan itu, Qomariyah menegaskan, wajar jika banyak penduduk Jateng lebih tertarik merantau ke daerah lain, karena dengan pekerjaan yang sama mereka mendapatkan upah yang jauh lebih tinggi.

Pada 2012 nanti, kata dia, Kota Semarang hanya mampu menaikkan upah sebesar 2,14% yaitu dari Rp 961.323, menjadi Rp 991.000.
Angka itu, menurut dia, jauh dari usulan serikat pekerja yang mematok upah sebesar Rp 1.419.498 dengan memasukkan perhitungan inflasi 2012 sebesar 5%.
Qomariyah menilai, proses verifikasi Dewan Pengupahan hanya didasarkan pada penunjukan dan populasi keanggotaan, dan tidak dibarengi dengan fit and proper test yang terbuka bagi publik buruh.

Persoalan lain, kata dia, dalam penentuan KHL adalah didasarkannya perhitungan upah pada buruh lajang serta tidak dimasukkan social cost dalam komponen upah.
Lebih lanjut dalam Permenaker dijelaskan, tahapan pencapaian KHL ditetapkan oleh gubernur, akan tetapi tidak setiap kota memiliki parameter dan aturan yang jelas.
Menurut Qomariyah, Semarang sebagai kota industri menjadi barometer dari kenaikan upah di daerah lain se-Jateng.
Rendahnya kenaikan upah di Semarang akan menghambat kenaikan upah di daerah lain. Hal itu juga akan menghambat investasi masuk ke daerah lain.
”Untuk itu kami menolak usulan Wali Kota Semarang UMK Kota Semarang 2012 Rp. 991.000, kemudian Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) se-Jateng tahun 2012 wajib 100% Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan meminta kepada Dewan Pengupahan Provinsi untuk melakukan advokasi terhadap daerah-daerah yang serikat pekerja atau Dewan Pengupahannya lemah,” imbunya. (mad-69)

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar